Sabtu, 30 Januari 2016

NYAMUK DAN REFLEKSI DIRI 2016 PART 1




                Tahun 2016 ini diawali dengan berbagai  cobaan buat saya. Dan penyebabnya adalah NYAMUK. Orang Indonesia pasti tau dong yang namanya nyamuk AEDES AEGYPTI dan the famous diseases it’s carrying all around this nation? Yang paling beken DEMAM DENGUE/DEMAM BERDARAH DENGUE. Nah, kalo menyangkut nyamuk-nyamukan saya menganut prinsip GAK PAKE SEMPROT2AN, karena saya agak paranoid dengan cerita Mama waktu saya kecil tentang balita yang meninggal di kamar yang baru disemprot Baygon. Meskipun cerita itu kebenerannya diragukan, tapi setelah saya baca berbagai literatur yang ada memang yang disarankan sebagai pencegah gigitan nyamuk adalah kelambu. Jadi selama ini saya pake kelambu untuk melindungi kedua anak saya dari gigitan nyamuk. Nggak selalu sukses, karena kelambu kan nggak mungkin 24 jam melindungi kita. Tapi dengan diiringi doa dan mencoba konsisten memberi nutrisi yang cukup buat anak-anak, plus kalau anak-anak demam selalu berusaha memaksa anak-anak untuk banyak minum maka saya berharap jauh-jauhlah penyakit-penyakit yang berbahaya dari anak-anak saya.....(amiiin).
                Proteksi pada anak-anak lumayan ketat, tapi kok malah lupa terhadap proteksi yang dewasa?  Akhir Desember kemarin, tiba-tiba pengasuh anak-anak  saya– yang  luar biasa saya andalkan karena saya working mommy with husband far far away from her – mengirim sms saat saya masih di kantor berbunyi: Mami, Bude sakit badan meriang menggigil. Saking diandalkannya Bude (begitu saya dan anak2 memanggil sang pengasuh), jarang sekali Bude mengeluh saat sakit ringan seperti batuk pilek atau demam sumeng-sumeng. Maka, ketika Bude sms mengabarkan bahwa dia sakit hanya beberapa jam menjelang saya pulang kantor, taulah saya bahwa sakitnya pasti nggak biasa.
                Bener aja, sampe rumah saya ukur demamnya tinggi dan pusing sekali kepala sampai nggak bisa bangun. Kalau bangun dipaksakan maka terhuyung-huyung nggak bisa berjalan lurus. Dalam hati: this is bad..... Waktu itu weekend, jadi saya memang nggak ngantor besoknya. Berharap hari Senin, Bude sudah pulih seperti sedia kala dan saya nggak perlu bolos kantor ngasuh anak-anak. Tapi Sabtu-Minggu berlalu dan Bude nggak ada perbaikan malah perburukan, jadi muntah-muntah dan nggak mau makan sama sekali. Minum hanya sedikit-sedikit aja.
                Mengasuh dua balita membuat saya nggak bisa memperhatikan Bude, sehingga urusan nutrisinya makin terbengkalai. Saya nggak bisa ngantor, dan sebagai ibu bekerja mohon maaf skill beres-beres saya minimalis banget. Apalagi anak-anak yang terbiasa diasuh Bude nggak bisa ngerti Bude lagi sakit sehingga saya sering emosi jiwa melihat Nizam memaksa Bude menemani dia tidur sambil membaca buku Ensiklopedi Laut favoritnya. Bude nggak bisa istirahat karena Nizam yang memang paling lengket sama Bude terus menerus nangis minta Bude meladeni kemauan dia.
                Bude memang berencana pulkam akhir tahun karena ada acara pernikahan keponakannya. Saya sudah mengajukan cuti untuk full time ngasuh anak selama Bude pulkam, suami juga sudah ok meluangkan waktu. Namun apa mau dikata, Bude malah sakit beberapa hari sebelum jadwal pulkam. Karena mau cuti, kerjaan masih numpuk di kantor, saya memanggil Mama untuk bala bantuan mengasuh Radith. Saya sendiri bermaksud pergi kerja dan membawa Nizam ikut ke kantor, jadi Mama nggak perlu mengasuh dua anak.
                Begitu Mama datang, ternyata kondisi Bude makin buruk, makin sering muntahnya. Maka saya memutuskan membawa Bude ke RS swasta di dekat rumah. Sampai di rumah sakit ternyata oh ternyata trombosit Bude rendah sekali, dokter curiga diagnosis mengarah ke Demam Berdarah Dengue alias DBD. Akhirnya saya merelakan Bude dirawat di rumah sakit, karena di rumah Bude sulit istirahat dan makannya nggak bisa saya perhatikan. Alhamdulillah Anto, anak Bude juga sudah mulai cuti kerja (karena bermaksud pulkam tadi) sehingga bisa menemani Bude di rumah sakit.
                Selama Bude dirawat, Mama menggantikan Bude menjaga Radith sementara saya ke kantor bersama Nizam. Ternyata membawa Nizam ke kantor yang terjadi malah nggak bisa kerja, laptop saya dimonopoli Nizam untuk nonton lagu-lagu anak dan main game edukasi. Saya terpaksa membajak PC teman saya yang sedang cuti, namun itu juga nggak efektif karena tiap  5 menit Nizam memanggil saya untuk ganti lagu atau ganti game.
                Begitulah yang terjadi saat Bude, pengasuh yang super diandalkan, jatuh sakit. Refleksi diri saya saat itu adalah: i’m a bad mom and housewife karena semua keteteran saat nggak ada Bude. Pengen nangis terus rasanya.....sampai suami saya datang, cuti dimulai, dan akhirnya saya bisa membawa anak-anak ke Bandung. Bude masih dirawat sampai seminggu, dan setelah pulang saya masih di Bandung beberapa hari sehingga Bude bisa pemulihan tanpa diganggu anak-anak.  
                Begitulah saya mengawali 2016, dengan merasakan betapa pentingnya Bude dan menjaga Bude tetap sehat. Saya super kagum deh sama working mommy yang juga ahli beres-beres rumah, weekend masih bisa masak-masak, kemudian jalan-jalan sekeluarga. Saya jelas bukan tipe yang seperti itu.  Tapi, saat itu saya juga menyadari bahwa sepertinya saya terlalu ketergantungan terhadap Bude, namun agak mengabaikan faktor kesehatan Bude dan melupakan bahwa Bude juga manusia yang bisa sakit. Sehingga langkah berikutnya adalah mencari satu lagi asisten yang bisa membantu Bude beres-beres rumah supaya Bude nggak terlalu cape dan fokus mengasuh anak-anak. Semoga pencarian ini segera membuahkan hasil karena sampai hari ini, akhir bulan Januari, belum ketemu juga calonnya.
                To be kontinyu ya karena cobaan nyamuk ini masih terus bergulir....

SEKILAS TENTANG DEMAM DENGUE/DEMAM BERDARAH DENGUE

http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs117/en/

http://milissehat.web.id/?p=134

Selasa, 20 Oktober 2015

GALAU KETIKA ANAK DEMAM


Siapa sih orangtua yang belum pernah menghadapi anak demam? Sebagai seorang dokter, saya merupakan saksi hidup bahwa demam merupakan alasan tersering orangtua tergopoh-gopoh membawa anaknya ke dokter. Jika mengingat peran saya sebagai agen pengedukasi masyarakat tentang kesehatan, saya termasuk cerewet masalah demam ini. Selain cerewet, sebagai ibu dari dua orang balita, saya selalu mencoba memberikan contoh bagaimana menangani demam saat anak saya sedang demam.

Tapi, tentu aja saya sebagai dokter dan saya sebagai ibu memiliki jalan pikir yang berbeda. Seorang dokter harus logis, berpikir dengan dasar keilmuan yang telah dipelajari. Seorang ibu? Liat anaknya sakit ya galau gelisah merana lah.....boro-boro berpikir logis, anak demam biasanya rewel, maunya nempel sama ibunya, jam tidur ibu kacau balau sehingga saking lelahnya mau mikir aja susah. Belum lagi liat anak lemes, nggak mau main, nggak lincah, so heart broken deh. Ibu mana sih yang tega liat anaknya sakit?

Sering nih, saat praktek saya dihadapkan pada tipe orangtua mudah panik. Anak demam baru sehari sudah dibawa ke dokter, alasannya: anak lemas, rewel, nggak bisa tidur, nggak mau makan, dll dll dll. Intinya justifikasi bahwa memang si anak harus dibawa ke dokter. Saya akan mencoba berempati dengan si orangtua dan mencoba memahami kepanikan mereka, namun karena peran saya adalah dokter dalam hal ini maka logika saya tentu masih jalan. Demam satu hari mau kasih diagnosis apa sih? Kalau belum ada gejala yang jelas misal: batuk pilek, muntah, diare, ruam, tentu akan mustahil bagi si dokter untuk menegakkan diagnosis. Kecuali dokternya separuh cenayang.

Seringnya berhadapan langsung maupun tidak langsung dengan orangtua yang panik saat anaknya demam membuat saya bertanya-tanya:  Kenapa ya demam masih begitu ditakuti oleh kebanyakan orangtua? Saya sering bilang ke temen-temen saya yang curhat ketika anaknya demam: JANGAN TAKUT SAMA DEMAM. Kalimat itu biasanya akan dibantah oleh temen2 saya, dianggap salah, dianggap saya menyepelekan demam. Ada beberapa temen yang sependapat, namun kebanyakan sih nggak setuju dan ujung-ujungnya tetap lari tergopoh-gopoh ke dokter (ke UGD kalau hari libur atau sudah malam). Apa lacur? Kalau ketemu dokter yang bisa rasional juga dan tahan menghadapi orangtua panik yang merasa have to do something, alhamdulillah. Kalo nggak? Bisa ditebak deh ceritanya: dikasih penurun panas via dubur, bahkan ada yang langsung diminta cek darah dan dirawat/diinfus. Demam satu hariiiiii.......periksa darah juga apa yang mau didapet?

Ok, parents...the truth is:

1.       DEMAM ITU TEMAN, DEMAM ITU BAIK, DEMAM ITU NGGAK PERLU DITAKUTI. Justru kalau nggak ada demam padahal tubuh kita terinfeksi, berarti ada yang salah dengan tubuh kita. Demam adalah cara alami tubuh memerangi virus, bakteri, apa pun yang menginfeksi kita. Jadi, jangan panik dan cemas ingin segera menurunkan demam.

2.       DEMAM MENANDAKAN ADANYA INFEKSI. Jadi? Infeksinya yang harus kita lacak. Penyebab demamnya yang harus kita cari. Selain itu anak yang demam cairan tubuhnya cenderung menguap lebih banyak, sehingga diperlukan asupan cairan yang lebih banyak dari biasanya supaya tidak DEHIDRASI. DEMAM TINGGI ( di atas 38 derajat celcius) bukan berarti penyakit yang diderita juga berat, sebaliknya DEMAM SUMENG juga tidak menjamin penyakit yang diderita ringan. Boleh memantau suhu anak saat demam, tapi jangan terlalu terpaku pada tinggi rendahnya suhu.

3.       DEMAM <72 JAM TANPA GEJALA YANG JELAS (gejala jelas adalah batuk pilek, muntah, diare, ruam dll) maka BELUM DAPAT DITEGAKKAN DIAGNOSIS. Terapi yang diberikan hanya bisa supportif, bersifat menyamankan saja seperti pemberian Paracetamol atau kompres hangat pada lipatan tubuh.

4.       UMUMNYA INFEKSI PADA BALITA/ANAK BERSIFAT RINGAN DAN DISEBABKAN VIRUS, SELF LIMITED ALIAS SEMBUH DENGAN SENDIRINYA TANPA PERLU DIBERIKAN TERAPI APA PUN. Jika anak demam dan di bawah 72 jam sudah sembuh, meskipun tidak ada gejala yang jelas, meskipun diagnosis pasti tidak dapat ditegakkan, very likely penyebabnya virus.

5.       JIKA DEMAM DISERTAI GEJALA JELAS sebagai berikut, maka kemungkinan diagnosisnya adalah sebagai berikut:

a.       BATUK DAN/ATAU PILEK: Infeksi Saluran Napas Atas alias ISPA, seringnya disebabkan oleh virus common cold, lebih jarang disebabkan oleh influenza. Warning sign: sesak napas, dehidrasi atau kurang cairan. Terapi suportif: cairan. Jika disertai SESAK NAPAS segera dibawa ke UNIT GAWAT DARURAT untuk penanganan segera.

b.      MUNTAH DAN/ATAU DIARE: Gastroentritis. Warning sign: DEHIDRASI. Terapi suportif: ORALIT dan CAIRAN SEBANYAK MUNGKIN untuk mencegah dehidrasi. Yang harus dipahami orangtua adalah: tanda-tanda dehidrasi.

c.       RUAM: bisa berbagai infeksi virus seperti Roseola, Campak (Measles), HMFD (flu singapur), dll dll. Terapi supportif: CAIRAN. Yang harus dipelajari, ruam itu seperti apa, dan berbagai jenis penyakit yang mungkin menimbulkan ruam.

Masih ada berbagai infeksi virus lain yang mungkin menginfeksi anak, namun tiga gejala yang saya tulis di atas adalah yang paling sering ditemui. Kalo ditilik2 ada satu kesamaan yah, semuanya terapinya CAIRAN. Meskipun untuk gastroenteritis spesifik harus ORALIT. Jika terdapat gejala2 jelas tersebut, dan anak secara klinis baik-baik saja, nggak ada kondisi gawat darurat maka sebenarnya nggak perlu dibawa ke dokter. Cukup berikan cairan yang cukup dan nyamankan anak agar bisa beristirahat. Silakan ke dokter untuk evaluasi jika dalam waktu 7 hari anak masih demam (terus menerus, tanpa fase bebas demam) dan klinis anak tidak ada perbaikan.

Setiap ada orangtua panik tergopoh-gopoh datang karena demam, atau teman2 yang konsultasi saat anaknya demam, sebisa mungkin saya mencoba menjelaskan hal-hal di atas. Dan hasilnya nggak selalu mendapat sambutan positif, seringnya sih teman saya tersebut tetap mengikuti rasa paniknya dan membawa anaknya ke dokter/UGD. Apalagi jika demamnya tinggi banget. Khawatir kejang...biasanya itu alasannya. (Nah, kalo ngomongin kejang demam, itu cerita lain lagi. Berhubungan dengan demamnya tapi tidak berhubungan dengan infeksinya. Saya share di lain kesempatan ya tentang kejang demam.)

Mungkin sih yang terbit dari pikiran teman2 yang saya ceramahin tentang JANGAN TAKUT PADA DEMAM adalah: wajar aja dia nggak takut, kan dia dokter atau dokter gemblung nih masa demam nggak usah ditakutin, atau coba kalo anak dia yang demam masih bisa nggak ceramah begitu?  Tapi, memang demikian adanya berdasarkan literatur-literatur ilmiah yang saya pelajari. Demam nggak perlu ditakuti. Dan bekal untuk nggak takut dan nggak panik saat demam adalah dengan membaca dari sumber yang tepat. Nah, dalam konteks saya sebagai seorang ibu tentu saya juga punya rasa nggak tega dan sedih melihat anak demam. Namun alhamdulillah, dengan banyak membaca saya jadi lebih tenang dan bisa menggunakan logika saat anak demam. Memang latar belakang medis saya cukup membantu, sehingga kalau kepanikan seorang ibu menguasai otak saya maka saya akan lempar ke sisi dokter saya. Jika saya menghadapi pasien dengan kasus begini, apa yang akan saya lakukan? Alhamdulillah it helped a lot.

Namun, jikapun saya nggak berlatar belakang medis, saya rasa dengan menggali ilmu dari sumber yang tepat tentu bisa mengurangi kekhawatiran kita pada saat anak sakit. Di era globalisasi komunikasi seperti saat ini, tentu udah nggak jaman lagi pasrah bungkukan kepada dokter atau tenakes apa pun. Kita sendiri sebagai orangtua paling tidak harus mau belajar, dan harus mengesampingkan rasa panik dan mengedepankan logika kita. Tegakah melihat anak sakit? Tentu nggak. Tapi, apakah kita tega memberikan obat2an yang tidak diperlukan anak kita, merisikokan anak kita terpapar kuman2 rumah sakit padahal sebenarnya anak kita tidak perlu dirawat?

Konklusi dari tulisan saya kali ini adalah: if you love your children learn more about their health. Berpikir jauh ke depan, jangan hanya untuk sekarang J

Sumber yang harus dibaca terkait Demam:







http://milissehat.web.id/?p=1

 

 

Rabu, 26 Juni 2013

PROFESI KESEHATAN INDONESIA BERSATU: MIMPI DI SIANG BOLONG

Saya seorang dokter, sampai saat ini saya masih bisa berbangga hati mengatakan ini. Meskipun status saya dokter disfungsional, karena setelah jadi PNS saya malah ditempatkan di posisi administratif, namun saya berusaha tetap menyandang ‘dokter’ tersebut dengan penuh kebanggaan.
Sebagai dokter disfungsional dan bekerja di tempat pusatnya kebijakan dibentuk, terus terang cukup membuka mata saya. Dulu, waktu saya masih PTT dan ditempatkan di Puskesmas dengan status Sangat Terpencil, saya selalu memandang penuh curiga kepada birokrasi. Apakah itu Dinkes yang lambat mengurus gaji kami, apakah itu Pemda yang terkesan menelantarkan nasib kami, juga tentu Pusat yang diam-diam saja padahal gaji kami belum turun 3 bulan.
Saya sangat nggak respek melihat lambatnya birokrasi di Dinkes, dan ogah-ogahannya pegawai Dinkes bekerja. Daftar gaji kami harusnya yang mengamprah dan mengirim ke Pusat ya Dinkes, tapi kenapa nggak turun-turun? Karena amprahannya belum dikirim ke Pusat. Alasan? Nggak ada biaya kirimnya. Jadi, akhirnya kamilah dokter-dokter PTT yang tabungannya pas-pasan karena baru lulus, yang bergerilya sendiri membuat amprahan gaji kami dan mengirimnya ke Pusat.
Tentu saja tidak semua Dinkes memperlakukan dokter PTT demikian, tapi hal ini membuat saya bertekad whatever happened saya nggak mau jadi birokrat. Lagipula jiwa saya bukan di birokrasi, tapi di pelayanan. Saya berjiwa practician, birokrasi membuat saya cape dan kesal. Tapi, manusia hanya bisa berencana, karena setelah saya diterima sebagai CPNS saya justru dijebloskan ke sumber dari segala sumber birokrasi: Kantor Pusat (maaf saya pake istilah dijebloskan, soalnya saya bener-bener nggak tau waktu awal kalo saya bakal ditempatkan sebagai tenaga administratif).
Sekarang, teman saya yang eks PTT dan kini jadi PNS fungsional di daerah dia PTT dulu, sering sharing dengan saya. Karena posisi saya di Pusat, tentu dia mengharapkan saya bisa menjelaskan berbagai masalah yang terjadi di daerah kenapa dibiarkan berlarut-larut oleh Pusat. Biasanya urusannya penyelewengan dana. Program Pusat yang bersentuhan langsung dengan Puskesmas adalah BOK, Jampersal, dan Jamkesmas (mungkin masih ada lagi, tapi saya taunya cuman itu). Dari sejak saya PTT Jamkesmas sudah mulai diberlakukan, dan saya mengerti bagaimana dana kapitasi Jamkesmas di Puskesmas itu menjadi sumber konflik. Kini datang BPJS, apakah Indonesia sudah siap?
Di sisi lain pelayanan kesehatan itu nggak bisa hanya dilihat dari satu sisi. Karena yang namanya pelayanan kesehatan melibatkan berbagai profesi di dalamnya, bukan hanya dokter. Lucunya saat ini tren yang berkembang adalah berbagai profesi ini justru mengedepankan ke’aku’an masing-masing tanpa mempedulikan sesama profesi pelayanan kesehatan lainnya. Perawat ingin bisa praktek, dokter protes karena apa bedanya sama dokter kalo perawat bisa praktek? Perawat bilang, loh bidan aja bisa praktek. Masa perawat yang kalo diliat tingkat pendidikannya setara dengan dokter (S1 dan plus profesi Ners) nggak bisa buka praktek pribadi?
Tren yang berkembang ini membuat saya prihatin, karena setelah bekerja di Pusat, saya melihat sendiri bahwa yang namanya kebijakan nggak bisa hanya mementingkan satu pihak saja. Nggak ada kebijakan yang bisa memuaskan semua pihak, it’s true, tapi at least sebuah kebijakan yang baik bisa menengahi semua pihak. Jika ke’aku’an ini yang justru berkembang, bagaimana bisa dibuat kebijakan yang baik?
Jadi inget jaman penjajahan dulu bermunculan organisasi-organisasi daerah, berjuang di daerah masing-masing tapi lupa sama persatuan dan kesatuan. Cita-cita memperoleh kemerdekaan justru sulit tercapai saat berjuang berpisah-pisah begitu.
Singkat kata, saya yakin dengan itikad baik semua profesi kesehatan. Saya yakin semuanya menginginkan hal yang sama: Indonesia Sehat dan tentu saja kesejahteraan setiap profesi kesehatan terjamin. Jadi, ayo sama-sama memperjuangkan cita-cita itu dan melupakan ke’aku’an masing-masing sejenak. Jika sistem pelayanan kesehatan yang baik sudah tercipta di negeri ini, saya yakin kesejahteraan profesi kesehatan pun akan meningkat dengan sendirinya, akan lebih dihargai dan lebih  dicintai oleh masyarakat.
You might say I’m a dreamer, but hopefully I’m not the only one.
dr. Rini Haryanti, work at Subbag Kepegawaian Ditjen Bina Upaya Kesehatan, Kementerian Kesehatan RI.
Was PTT at Puskesmas dengan status ST di Provinsi NTT.
Dengan sedikit kutipan dari ‘Imagine’ by John Lennon


PS. Jika ada hal-hal yang tidak akurat dan tidak tepat dari tulisan ini mohon agar dikoreksi, pengetahuan penulis terbatas soalnya….

Minggu, 10 Februari 2013

DOKTER RUM vs PASIEN RUM


Rational Use of Medicine (RUM) atau Rational Use of Drugs (RUD), ada yang familiar dengan istilah ini? Saya pribadi sebagai seorang dokter tentunya familiar, tapi baru tahu kalo disingkat2 RUM sama RUD saat saya menjadi seorang ibu dan bergabung dengan sebuah milis yang isinya ibu2 semua, eh ada juga sih bapaknya tapi jarang….
Ternyata sekarang tren orangtua2 muda adalah mencari dokter yang RUM. Agak asing buat saya, karena selama ini pengalaman jadi dokter praktik ya di Puskesmas terpencil, pasien2 saya waktu itu boro2 mikirin RUM, dateng ke Puskes dalam keadaan  bersih kinclong aja jarang…..(but it’s another story , pemirsah).
Sebenernya, logically, dokter ya harus RUM. Waktu kuliah diajarin kok bahwa penggunaan obat harus rasional. Rasanya nggak masuk di akal deh, kalo sekolah kedokteran yang memakan waktu total 6-8 tahun itu nggak diajarin ilmu RUM sama sekali. Jadi kenapa pada praktiknya masih banyak dokter yang kasih resep seenaknya? Sudah tahu disebabkan virus, kok ya masih diresepkan antibiotik. Sudah tahu bisa sembuh sendiri, kok ya harus dan wajib dibekelin obat?
Banyak yang menggiring dokter melakukan tindakan2 irasional dalam meresepkan obat. Dari faktor dokternya sendiri bisa saja sang dokter lupa alias khilaf, atau terlalu sibuk dengan praktiknya sehingga tidak tau perkembangan terapi terkini (misal di zaman dia kuliah dulu wajar saja kalau meresepkan antibiotik untuk profilaksis – pencegahan), atau yang paling khusnuzon sih dokternya ada kongkalikong sama pabrik obat tertentu. Nah, kalo dari faktor pasiennya, hal2 yang mendorong dokter menjadi irasional adalah pendapat sang orangtua sendiri bahwa kalau sakit, dibawa ke dokter, ya pulangnya harus bawa obat. Kalo nggak bawa obat nggak sah namanya. Kalo sampe kemudian anaknya dirasa nggak sembuh2 karena nggak dikasih obat, dokternya yang disalahkan. Dokter dianggap salah, males deh dateng lagi ke sana. Praktik sang dokter jadi sepi. Daripada daripada mendingan diresepin aja deh obat apa yang nggak berbahaya meskipun nggak diperlukan. Vitamin kek.....Atau, orangtua panik setengah mati dan ngomel2 ke dokternya.  Mendorong dokter untuk jadi ikut panik dan irasional.
Perlu sama-sama kita sepakati bahwa dokter itu manusia juga. Bisa khilaf, bisa lupa, bisa punya kepentingan2 pribadi....jadi, penting sekali buat pasien untuk tidak mendorong dokter untuk melakukan hal2 yang irasional. Jadikan dokter sebagai mitra sehingga anak kita nggak jadi korban. Gimana caranya?
Jika anak sakit, misalnya demam tinggi nih...katakanlah 38,5 derajat celcius, kita sebagai orangtua sudah harus punya bekal ilmu untuk mengatasinya sebelum terpikir untuk dibawa ke dokter. Caranya mencari ilmu salah satunya yang paling gampang tentu browsing di internet, tapi tentu saja karena begitu banyak sumber kita harus cari yang kredibel. Salah satunya nih: mayoclinic.com. Kredibel dan bahasanya gampang dicerna. Cara lainnya adalah bergabung dengan milis2 atau forum2 yang kredibel juga, dengan begitu kita bisa bertanya dan dapat informasi, berbagi pengalaman, sharing ilmu dst dst.
Bukan apa-apa, banyak orangtua yang panik saat anaknya demam tinggi. Dan bukannya mencoba menyamankan si anak yang tengah demam dan memberi cairan yang cukup supaya nggak dehidrasi, malah heboh nyeret2 anak ke dokter spesialis anak yang antriannya sampe 2-3 jam lebih saking ramenya pasiennya. Padahal, kalo demam baru sehari, dokternya juga bisa kasih diagnosis apa ya? Paling observasi febris, yang berarti ya diobservasi aja demamnya berlanjut apa nggak besoknya. Jadi, paling penting dalam menghadapi anak sakit adalah JANGAN PANIK.
Iya sih, I know it’s not that simple. Setelah punya anak saya mengerti dan paham benar betapa sulitnya untuk nggak panik saat anak kita sakit. Oleh karena itu orangtua perlu belajar kondisi2 apa yang dikategorikan harus segera ke dokter dan apa yang bisa diobservasi dulu di rumah. Lalu tarik napas, tenangkan diri, kalo nggak panik yakin deh bisa berpikir lebih jernih.
Baiklah, inti dari postingan saya kali ini itu aja sih….mungkin nanti2 kita bisa ngobrol2 lebih banyak lagi tentang RUM dari kedua kacamata ini. Ingat, jangan bebani anak kita dengan obat2an yang tidak perlu dikonsumsi, karena setiap obat ada efek sampingnya. Di sisi lain, jangan terus nggak mau diobatin juga jika memang perlu. Yang penting kita tahu indikasi dari obat2an tersebut. Berkomunikasilah dengan dokter, jika dokternya nggak mau berkomunikasi carilah dokter lain yang bisa diajak berkomunikasi. Dengan demikian, kita menjadi pasien yang smart, bukan hanya mau belajar untuk tahu tentang penyakit anak kita, tapi juga mengajari dokter untuk lebih terbuka dalam berkomunikasi.

Salam RUM.....
*Rini, a mother that also happened to be a doctor*

link:

Kamis, 13 Desember 2012

BREASTPUMP O BREASTPUMP


Karena sering banget diminta pendapat tentang breastpump mana yg lebih enak, maka saya memutuskan untuk merangkumnya dalam sebuah catatan (yang mudah2an) singkat ini. 
Saya pernah bikin note yang terpisah2 ttg masing2 merk, tp supaya lebih mudah dibaca saya satukan dalam note yg ini aja.
Ada bbrp hal yg mau saya tekankan sebelum masuk ke pokok bahasan:
1. Breastpump atau pompa asi itu sifatnya personal dan cocok2an, jadi apa yang saya rasakan saat memakai satu merk blm tentu sama dng yang mums skalian rasakan.
2. Saya hanya bisa mengulas/membandingkan merk2 yg pernah saya pakai. 

Okey, let's get to the point. Pertama mau bahas yang manual2 dulu. Saat ini saya sudah menjalani e-ping (exclusively pumping) selama nyaris setahun, dan jujur saya lebih suka pake tipe manual drpd elektrik. Alesannya: gk butuh colokan listrik atau batre dan ritmenya bisa suka2 saya. 

Breastpump manual yg pertama saya pake adalah medela harmony, kemudian saya beli unimom mezzo sebagai cadangan, waktu masuk kerja saya memutuskan utk beli avent manual dan menjual unimom mezzo saya. Trus saya juga pernah nyobain pigeon manual. Jdi utk tipe manual ada 4 merk yg bisa saya perbandingkan.
Juara dari keempat merk tersebut ttp medela harmony. Sejak anak saya usia 1 minggu saya udh pake harmony dan sampai saat ini msh jdi andalan saya. Nyaman banget, gak pernah bikin lecet, sparepart gampang dapetnya, dan yg paling saya suka dr medela corongnya bisa diganti2. Saya lebih klop pake yang ukuran L, standar bawaan pompanya ukuran M. Memang sih jatuhnya nambah biaya lgi utk beli corong, tp worthed kok.
Pemenang kedua adalah avent phillips manual. Sebenernya personally saya lebih nyaman pake avent phillips drpd medela harmony, tp secara keseluruhan yang menang ttp harmony krn alasan sparepart dan corong td. Avent punya keunggulan di "silicone massager" yang ditempel di corong. And it does work. Saya pernah coba lepas dan lebih lama dpt LDR-nya. Corongnya juga relatif besar, jdi meskipun gk bsa diganti ukuran kayak harmony gk tllu mengganggu buat saya mah. Kekurangannya: sparepart relatif lebih sulit dicari (tapi ada cadangannya jdi gk terlalu masalah asal jgn ilang aja), harga jauh lebih mahal dr harmony, bantalan siliconenya di sisi lain sering bikin asi nyangkut di sana (dan di bawah diafragmanya) akibatnya kalo pas asi lgi dikit jdi sedih krn kebuang2.
Juara ketiga saya berikan kpd unimom mezzo. Mezzo mekanisme dan penampakannya sangat mirip sama avent (bahkan punya converter supaya bisa ditempelin botol avent), tp saat dirasain beda tarikannya. Mezzo lebih lembut dan gak sekuat avent. Mungkin ada individu2 yang lebih nyaman dengan tarikan mezzo, tp saya sih ngerasanya kayak dikilik2 doang :D Kelebihan mezzo yg lain adalah harganya yg murah meriah. Untuk kelas harga segitu, menurut saya mezzo adalah best buy...

Dan berarti tempat terbuncit diberikan kepada pigeon manual. Sebenernya pigeon not bad, tarikannya mantap setara sama harmony. Saya nyoba cuma sekali sih...yang bikin saya males pake pigeon adalah: pegel. Iya gak tau knapa tuasnya pigeon saat ditarik berat, jdi bikin pegel. Hal ini gk saya temui pada 3 merk yg lain. Kelebihan pigeon ya itu td tarikannya mantap, trus sparepart cadangannya banyak (gak usah khawatir kalo ilang), dan ada garansinya gk kayak manual2 yg lain.


Oke, that's it for manual breastpumps. Kita beralih ke electric breastpumps. Pertama yg saya punya: medela swing. Terus utk back up swing saya beli medela mini electric. Masuk kerja tergoda beli avent phillips single Eeectric (jd avent manual-nya dari paketan electric ini jg awalnya). Terakhir demi kelangsungan hidup stok asip saya, saya beli unimom forte yg bisa dipake double pumping.


Nah, untuk electric urutannya sebagai berikut:
Pertama jawaranya adalah unimom forte. Knapaaaa? Soalnya bisa double pumping dengan harga terjangkau. Tarikannya mantap dan cukup nyaman. Forte berhasil banget boosting hasil perahan saya, terutama perahan pagi. Tp, forte punya kekurangan sbb: corongnya kecil (ini sdh diperbaiki di versi barunya sih), kalo dipake double pump gk sekuat kalo dipake single pump doang, harus dicolok listrik, berat gk portable, dannnnn agak ringkih. Forte saya nggak nyampe setahun udah diservis karena tarikannya berkurang. Trus tau2 unimom udah ngeluarin versi barunya aja. Stuck deh sama si versi lama, dijual kayaknya kurang peminat (karena udah ada versi baru), dipertahankan kok ngiler pengen beli versi baru ya? (curcolsss).
Number two, medela swing pemenangnya. Sebenernya nih, seandainya punya uang untuk beli double pump keluaran medela pasti medela sih yang dibeli. Berhubung dana terbatas jadi akhirnya swing dijual untuk beli forte deh. Swing ini asli enakeun, memiliki semua keunggulan harmony dalam bentuk elektrik. Minusnya adalah asinya suka masuk ke dalam mesin, dan kalo nggak cepet2 dibersiin bisa bikin rusak. Sekali lagi saya sarankan untuk mums yang kelebihan budget breastpump, beli aja deh sekalian double pump medela kayak freestyle atau pump in style.
Ketiga, avent phillips electric. Nggak tau kenapa, meskipun review dari para pemakai cukup baik, saya kok merasa sama kayak kalo pake mezzo: tarikannya nggak kerasa dan kayak dikilik2 doang. Sebetulnya sih nggak ngefek sama hasil perahan, tapi ibarat orang Indonesia kalo makan harus pake nasi, kurang puas gitu loh….hehehe….Kelebihan avent electric ini adalah suaranya yang smooth, dan meskipun judulnya elektrik tapi kita bisa ngatur ritme sendiri (ada memori untuk merekam ritme yang kita inginkan). Recommended untuk penyuka tarikan yang halus. Dari segi harga beda tipis sama swing. Tapi, avent electric punya kelebihan: bisa diconvert jadi avent manual. Makanya pas awal saya beli yang electrik, tapi kok lama kelamaan lebih sering kepake manualnya, elektriknya dianggurin yak? Akhirnya si avent elektrik ini mengalami nasib yang sama dengan swing: dijual. Dan saya pun beli avent manual setelah itu….hihihi….
Last but not least (eh ini this case least ya?) ada medela mini electric, breastpump paling laku tapi paling sering juga dijual lagi sama orang. Kenapa? Karena sebab2 berikut: 1. Berisik, 2. Tarikannya keras banget, banyak yang bilang sakit….. Saya sendiri beli medela minel ini tadinya untuk back up swing saya, utk double pump juga sebelah swing sebelah minel. Eh, baru dua kali pake lecetttt…..akhirnya dijual juga deh. Tapi terus pada suatu hari saya memutuskan untuk beli lagi medela minel second (kebetulan ada yang nitip jualin), saya coba lagi deh pake dan karena si nipple udah biasa di abuse jadi nggak sakit lagi…hehehehe…..Sampe sekarang saya jadiin cadangan dan ditaro di tas dibawa2 ke mana2 just in case dibutuhkan (tetep aja seringnya pake harmony). Kelebihan minel adalah relatif murah untuk medela. Kekurangannya sama kayak swing sering kemasukan asi dan suaranya berisik kayak cukuran jenggot.
Sekian ulasan berbagai merek breastpump yang pernah saya gunakan. Semoga bermanfaat bagi yang membaca dan kalo masih bingung milih breastpump setelah membaca, boleh tanya2 langsung ke sayah via email, BB, ataupun fesbuk. Mudah2an bisa jawabnya, dan kalopun nggak bisa nanti dicarikan jawabannya.

Happy breastpumping! Human Milk for Human Babies ya….

Minggu, 21 Oktober 2012

The Story Behind My PP


Seminggu yang lalu saya memasang profile picture ini pada BBM saya, awalnya tanpa niatan khusus apa pun. Hari itu saya pindahan rumah, dan bertepatan dengan itu pula saya akhirnya memutuskan minta dibelikan freezer 5 rak kepada suami saya setelah 4 bulan menyewa. Habis, diitung2 nyewa 10 bulan aja udah bisa beli yang baru.
Memang reaksi ini agak terlambat, karena anak saya sebenernya udah nyaris 10 bulan, sudah lewat fase ASI Eksklusif. Tapi, saya punya niatan bisa meneruskan pemberian ASI kepada anak saya sampai umur 2 thn, jadi akhirnya saya beranikan diri untuk mengajukan proposal pembelian freezer meskipun kesannya terlambat.
Kenapa saya baru beli freezer minggu kemarin dan baru menyewa freezer setelah anak beres ASI Eksklusif? Alasannya adalah: saya nggak pede. Takutnya udah mahal2 beli freezer eh ASInya dikit dan gak bisa nyetok banyak2, walhasil nanti freezernya lowong. Makanya selama 6 bulan pertama, saya memilih beli kulkas dua pintu aja. Ternyata alhamdulillah ASI saya makin lama makin banyak, dan freezer kulkas saya nggak sanggup lagi menampungnya. Awalnya sih saya menyalurkan kelebihan ASI dengan mendonori beberapa bayi lain, tapi setelah anak saya lulus ASI Eksklusif saya memutuskan untuk membekukan puree juga sebagai MPASI-nya dan untuk itu saya butuh ruang lebih di freezer. Waktu itu masih belum pede juga mau beli, jadi mencoba untuk menyewa dulu dan sekali nyewa harus langsung 3 bulan. Itulah sebabnya, setelah terbukti saya mampu memenuhi freezer lima rak tersebut dengan stok ASIP untuk Nizam, anak saya, maka saya akhirnya pede untuk minta dibeliin freezer.
Kembali lagi ke Profile Picture (PP) saya. Saya memasang PP tersebut setelah sukses memindahkan stok ASIP saya dari freezer sewaan ke freezer yang baru saya beli. Rasanya cukup bangga akhirnya punya freezer sendiri dan terisi penuh. Jadi, saya foto untuk dokumentasikan. Terus iseng deh saya display di BBM dengan titel: Berhasil memindahkan ASIP satu freezer (gambar dancing). Siapa yang menyangka memajang PP tersebut di BBM memicu serangan reaksi dari temen2. Bertubi2 tuh mulai dari dipasang sampe hari ini saya masih mendapatkan reaksi terkait PP tersebut. Rata2 dari busui juga yang bekerja juga dan yang mencoba untuk nyetok juga. Reaksinya juga rata2 bernada kagum binti takjub. Yang paling sering ditanyakan adalah: Mbak, makannya apa ya asinya bisa banyak begitu? Banyak pula yang minta tips supaya bisa banyak ASI-nya. Tapi, ada juga yang dengan jujur bilang iri, atau jadi merasa ciut karena ASI mereka sedikit dan stok ASIPnya nggak bisa sebanyak saya. Tapi untungnya lebih banyak yang merasa termotivasi dan ingin bisa punya stok ASIP sebanyak saya.
Melihat reaksi2 itu, saya merasa perlu menjelaskan kepada teman2 sekalian dengan membuat sedikit catatan ini.
Pertama, saya nggak berniat membuat siapa2 menjadi ciut dan rendah diri melihat stok ASIP saya itu. Saya senang kalo ternyata PP saya bisa memotivasi (bahkan ada yang menjadikan PP saya PP mereka juga untuk motivasi), tapi jelas saya nggak bermaksud boasting atau pamer jadi saya agak menyesal kalau ternyata ada yang malah jadi minder lihat PP saya.
Kedua, saya nggak mencapai stok ASIP sebanyak itu tanpa usaha dan kerja keras. Saya seorang ibu yang memompa eksklusif (exclusively pumping or e-ping)—memberikan hanya ASIP kepada anak saya karena tidak bisa menyusui langsung—dan menurut saya sih harusnya bunda2 yang menyusui langsung akan lebih mudah mempertahankan suplai ASI mereka karena nggak ada isapan pompa yang menyamai isapan bayi efektifnya dalam hal mengosongkan payudara.
Ketiga, saya nggak minum atau makan makanan yang khusus. Biasa aja. Saya juga nggak punya trik-trik tertentu. Karena saya e-ping maka saya mencoba untuk disiplin memompa bahkan saat saya sedang dinas ke luar kota. Bukan hal yang mudah, tapi tekad saya untuk bisa memberikan ASI sampai Nizam 2 tahun selalu sukses mengalahkan rasa jemu dan cape saya memompa. Jadi kalo ada yang nanya makannya apa sih mba? Ya saya makan nasi, makan sayur, makan daging2an, semua dalam porsi normal2 saja. Minum memang saya perbanyak, karena kalo minum sedikit kerasa sekali hasil perahan menurun. Suplemen menyusui saya minum sejenis produk susu kedelai khusus ibu menyusui, tapi nggak terlalu banyak pengaruhnya meskipun membuat suplai meningkat sedikit.

Saya akhirnya memasang PP tersebut sampai seminggu (baru saya ganti hari ini) karena menyadari banyak yang termotivasi dengan melihat PP saya itu. Beberapa malah konsultasi, dan dengan senang hati saya suntik lagi dengan motivasi2 karena hanya itu yang bisa saya berikan saat ini untuk membantu sesama busui yang bekerja.
Sebagai pribadi saya memang selalu beranggapan ASI is the best for your baby, tapi saya nggak pernah menilai negatif bunda2 yang terpaksa memberikan susu formula karena ASI mereka ’sedikit’.  Ini karena saya tahu rasanya menjadi salah seorang dari bunda2 tersebut.  Nizam pernah mendapat susu formula selama 1 bulan pertama kehidupannya. Dan saya pernah stres mendekati depresi karena ambisi saya sendiri yang pingin bisa menyusui langsung + kasih ASI eksklusif sampai 6 bulan. Mau tau kenapa dan gimana itu bisa terjadi? Terus ikutin catatan saya ya.....insya Allah bisa konsisten nulis lagi.

Selasa, 28 Februari 2012

Saat B-Chan Menyapa Dunia

       
    Hmm, blog ini terabaikan sekali tampaknya. Padahal tadinya niatnya mau bikin dokumentasi selama hamil, apa daya males nulisnya. Tapi, posting kali ini perlu sekali untuk ditulis dan disampaikan kepada khalayak ramai. Meskipun udah 2 bulan tertunda, tapi gue akan mencoba mendeskripsikannya seakurat mungkin karena yah...I know I won’t forget that day. Jadi, inilah dia kisah tentang bagaimana Bebichan yang pada saat itu telah diyakini 90 persen berjenis kelamin laki-laki, tapi masih dipikirkan nama pastinya, pertama kali menghirup oksigen di bumi ini.
                Hari itu hari Kamis, tgl 29 Desember 2011. Kehamilan gue udah memasuki minggu ke-38, udah berat banget rasanya bawa perut. Perkiraan B-chan (demikianlah kemudian Bebichan lebih sering disapa) lahir tgl 5 Januari 2012. Memang ada kemungkinan maju atau mundur, tapi gue memiliki firasat ngaco bahwa B-chan akan lahir pada tgl 1 Januari.
                Suami gue alhamdulillah saat itu telah mendampingi gue, kebetulan memang lagi liburan natal dan tahun baru di kampusnya, dan kalo sampe dia nggak pulang gue udah sesumbar setelah B-chan lahir tiap hari akan memperlihatkan foto bapaknya sambil bilang, ”Ini Om Fajar namanya ya, Nak...” (hehe, kidding!). Gue udah cuti sekitar satu mingguan waktu itu, jadi gue udah di Bandung di rumah Bokap Nyokap. Rasanya nyaman dan hepi, ada suami, ada keluarga. Kesepian gue sepanjang menjalani kehamilan ini rasanya terobati. Sebelum suami gue dateng, gue sempet nangis liat ada ibu hamil lewat di depan rumah lagi jalan-jalan pagi sama suaminya. Jadi it felt so happy saat akhirnya gue bisa seperti ibu hamil tersebut, didampingin suami jalan-jalan pagi.
                Gue harusnya kontrol ke dokter kandungan tanggal 28 Desember, tapi waktu itu ujan gede dan nggak ada yang nganterin. Males naek angkot membuat gue memutuskan untuk ke dokter besoknya aja. Siapa yang mengira tanggal 28 itu gue mulai merasakan apa yang disebut kontraksi.
                Oke, kronologis ah ceritanya. Jadi sekitar menjelang malem jam 9nan gitu gue merasakan perut gue sakit, kayak perih perih nggak enak gitu. Berhubung ini kehamilan pertama, gue nggak tau rasanya kontraksi kayak apa. Gue pikir ini maag gue kambuh apa ya? Tapi semakin malam perut gue terasa semakin nyeri, yupp nyeri, bukan mules seperti yang gue bayangin. Dan lucunya nyerinya periodik, sebentar dateng sebentar ilang. Tapi masih bisa ditoleransi nyerinya sehingga gue nggak bilang siapa-siapa.
                Trus selain nyeri periodik tersebut, gue menemukan lendir di CD gue saat BAK. Lendir putih kayak putihnya telur gitu. Gue browsing di internet dan menemukan bahwa lendir itu termasuk tanda bahwa persalinan sudah deket, tapi masih ada kemungkinan sehari dua hari lagi baru ada pembukaan. Maka gue kembali nyantai. Malam makin larut, dan sakit di perut gue makin terasa. Plus periode bebas sakitnya pun makin menyempit, gue mulai curiga ini kontraksi beneran. Tapi berdasarkan teori yang gue inget, seorang primigravida (hamil pertama) biasanya lambat kemajuan pembukaannya. Jadi, gue nggak mau terburu-buru ke rumah sakit saat itu juga, mendingan juga tidur di rumah kalo pembukaan masih 1 atau 2. Akhirnya gue diem-diem aja dulu, menikmati sakit tersebut. Gue coba tidur, ternyata jam 12 malem gue kebangun karena sakit di perut gue tersebut. Walah, sakitnya udah mulai intens nih, udah bisa bikin gue kebangun. Gue mulai menghitung jaraknya, awalnya masih sekitar setengah jam sekali, lama-lama jadi 15 menit sekali. Saat gue BAK lagi ke kamar mandi ternyata lendir yang tadi kayak putih telor itu udah bercampur darah sekarang. Eng ing eng.....
                Tapi, gue keukeuh nggak mau heboh dulu. Gue memutuskan untuk berangkat ke rumah sakit abis sholat subuh aja. Toh sakitnya masih bisa ditahan, berarti belum kuat kontraksinya. Teuteup aja meskipun masih bis a ditahan, gue nggak bisa tidur lagi. Ngantuk banget sih, tidur tiap kontraksi ilang, tapi begitu kontraksi kerasa ya bangun lagi. Berhubung tiap 15 menit nyeri, ya jadinya tiap 15 menit bangun.
                Suami gue tidur pules di samping gue, tapi mungkin dia ngerasa gue nggak tidur-tidur ya, jadi jam 3an dia bangun. Gue bilang kayaknya abis subuh harus ke rumah sakit nih. Maka dia pun nggak tidur lagi sampe subuh dateng. Abis sholat subuh, baru deh gue ngabarin Mama kalo kayaknya harus ke rumah sakit. Berhubung satu dan lain hal, akhirnya baru bisa berangkat ke rumkit jam 7 pagi. Sakitnya mulai tidak tertahankan, tapi pada periode bebas sakit bener-bener ilang sakitnya. Lucu banget rasanya kalo dipikir-pikir sekarang.
                Sampe di rumah sakit gue langsung diperiksa pembukaannya. Ternyata baru pembukaan 2.  Ealah, masih lama dong. Kok sakitnya udah kayak gini? Mulai panik nik nik....tapi berusaha tetep santai. Gak lama Dokter dateng meriksa juga, memutuskan bahwa udah pembukaan 3. Oya, ajaibnya tensi gue mendadak tinggi: 140/90. Padahal meskipun kaki gue bengkak segede kaki gajah, selama ini tensi gue normal-normal aja. Dokter nyuruh gue diperiksa albuminuri-nya (kadar albumin dalam air seni). Selama menunggu hasil gue disuruh jalan-jalan dulu. Maka gue jalan-jalan mengitari rumah sakit, terus saat kamar udah tersedia gue tiduran deh di kamar mencoba menahan sakit.
                Jam 11 gue disuruh periksa pembukaan lagi ke kamar bersalin. Ya udah, gue ke sana. Tensi gue naek lagi jadi 150/100, pembukaan masih 3. Hasil lab udah dateng, dan albumin gue positif 2!!! Yak, gue mengalami preeklamsi berat. Gue mulai kebat-kebit nih, jangan-jangan disuruh operasi aja. Alhamdulillah, dokter gue memang nggak terlalu pro operasi, sehingga akhirnya tindakan yang diambil adalah induksi persalinan supaya nggak terlalu lama prosesnya. Maka gue pun diinfus oksitosin kanan kiri.
                Nah, ternyata nih perjuangan baru dimulai sejak diinfus itu. Kontraksinya makin terasa maknyuss, makin deket-deket, dan dalam waktu yang singkat. Gue mulai diinfus sekitar jam 1an sepertinya, sejam kemudian udah pembukaan 6-7. Sakitnya tak terbayangkan....Gue selama ini selalu menganggap diri gue bisa menahan sakit (bahkan sedikit masokis), ternyataaaaaa.......ada juga sakit yang nggak bisa gue tahan. Bayangin nih, saat sakitnya udah tak terperi begitu, dicek masih bukaan 6. Rasanya kayak frustrasi berkepanjangan. Apaaaa? Gimana kalo udah bukaan lengkap.
                Fase sejak diinfus sampe B-chan lahir bagi gue adalah fase yang samar-samar. Karena sakit gue nggak bisa berpikir jernih dan nggak bisa mengontrol diri lagi. Suami gue setia mendampingi di samping gue, juga beberapa bidan dan perawat bergantian masuk memberikan support. Tetep aja karena sakitnya gue nggak bisa lagi bercanda or anything. Puncaknya sekitar jam 2-3an, saat kontraksinya udah kurang dari 5 menit sekali. Gue cuman bisa teriak-teriak tak terkendali tuh, meskipun bidan-bidan yang datang hilir mudik sibuk mengingatkan kalo gue bisa keabisan tenaga karena teriak-teriak. Bahwa gue harus mengatur napas gue. Bahwa gue dokter masa begitu aja mesti diingetin.
                Dalem ati gue kesel banget, iya I know theory, gue pernah bantu persalinan dan gue pernah menemukan ibu-ibu yang teriak-teriak tak terkendali bikin kesel semua orang. Sekarang saat gue ada di posisi mereka, ternyata sama aja gue teriak-teriak tak terkendali. Akhirnya bidan-bidan itu menyerah dan cuman bilang, kalo mau teriak-teriak paling nggak teriakannya dzikir ya....Jadilah gue teriak Subhanallah, Astagfirullah, Allahu Akbar sekeras-kerasnya sampe keabisan tenaga sendiri. Rasanya capeeeeee banget teriak-teriak, tapi I can’t find another way to cope with the pain. Gue udah coba atur napas, sekali dua kali berhasil, tapi pas kontraksinya lagi kenceng banget nggak bisa lagi tuh ngatur-ngatur napas.
                Sekitar jam setengah 4 (akurasi waktu dipertanyakan karena gue bener-bener nggak aware lagi itu jam berapa) gue diperiksa dalem lagi, dan dengan senang hati bidannya mengumumkan bahwa pembukaan hampir lengkap. Dikit lagi lengkap, sabar ya bu….jangan ngeden2 dulu sampe bukaannya lengkap, tunggu dokter dateng. Setelah beberapa saat yang rasanya seabad berlalu, dokter pun dateng. Kemudian mengumumkan bahwa karena dia khawatir gue kejang saat ngeden, maka gue akan dibantu dengan vakum. Intinya gue nggak boleh ngeden lama-lama.
                Setelah tau mau divakum, Mama dateng dan nanya apa nggak mau dioperasi aja. Hueeeh….apa pula itu? Udah sampe bukaan lengkap kok masih minta dioperasi. Judulnya double pain dong. Nggak mauuu....Gak papa divakum aja.
                Maka setelah beberapa saat lagi yang rasanya seperti seabad lagi gue mulai merasa pengen pupup. Tapi gue masih nggak boleh ngeden karena bukaanya belum lengkap banget. Gue nggak tau lagi gimana ceritanya tu bukaan akhirnya lengkap apa nggak, karena gue mengikuti insting gue dan mulai mengeden-eden. Sang bidan langsung protes dan bilang ‘jangan dulu bu…’, gue nggak peduli gue teriakin aja, ‘nggak bisa ditahan!’, si bidan keukeuh, ‘bisa kok, atur napasnya bu…’. Aaaarghh…biarin, gue pun mulai mengeden-ngeden dengan nggak peduli.  
                Akhirnya entah gimana ceritanya gue diizinkan untuk ngeden. Kemudian gue denger suara vakum dinyalain, corong vakum ditempelin, dan karena tenaga gue udah ampir abis untuk teriak-teriak maka gue bahkan nggak kuat memposisikan diri setengah bangun untuk mengeden dengan bener. Akhirnya dibantu ditarik sama suami gue. Gue nggak tau deh ngedennya bener apa nggak. Pokoknya kata dokter jangan buka mulut, jangan keluar suara dan pas kontraksi. So I did it. Sepertinya gue nggak mengeden terlalu lama sampe sesuatu yang besar terasa keluar dari *you know where*, kemudian plooong…..kontraksinya berhenti dan rasanya plong.
                B-chan mana? B-chan mana? Itu yang ada di kepala gue. Saat gue denger tangisannya, gue langsung lupa sama sakit luar biasa yang gue rasain baru aja itu. B-chan ditempelin ke dada gue, prosedur IMD. Tapi karena B-chan lahir divakum, maka IMD-nya gagal karena cuman 5 menit ditempelin B-chan udah dibawa menemui dokter anak. Meskipun cuma 5 menit, memori itu melekat lebih kuat di kepala gue saat ini daripada nyeri kontraksi yang gue rasain selama berjam-jam itu. Itu fakta. Dulu gue nggak percaya bahwa sakit kontraksi bisa dikalahkan dengan melihat bayi kita lahir dengan selamat. Gue pikir nyeri ya nyeri aja. Tapi ternyata gue salah, nyerinya langsung ilang lang lang, bahkan memori tentang nyeri itu pun hanya jadi bayangan samar. B-chan lahir….B-chan menyapa dunia ini dengan tangisannya. Welcome to the jungle, Little One….